Oleh: Dewa Syofiani
Wacana
akan dipisahkanya antara Dinas Pariwisata dan Dinas Perhubungan, Komunikasi dan
Informasi Kabupaten Kepahiang seolah memberikan angin segar. Betapa tidak, rencana
ini sanggup membuka mata setiap lini masyarakat yang menanti inovasi. Dengan
diberikanya porsi tanggungjawab yang penuh, Dinas Pariwisata Kepahiang digadang-gadang
mampu menggairahkan dunia kepariwisataan. Sektor yang selama ini seolah terlelap
diharapkan mampu digarap secara maksimal sehingga dapat mendongkrak
perekonomian kerakyatan serta pembangunan di sektor lain.
Potensi
wisata yang beragam di wilayah Kepahiang tidak hanya menjadi keunggulan daerah
setempat. Namun, sudah sejak lama Kabupaten Kepahiang menjadi kebanggaan
Indonesia bahkan di mata dunia. Mulai dari wisata alam pegunungan tropis yang
eksotis, wisata edukasi tempat penangkaran bunga terbesar di dunia hingga
potensi wisata sejarah perkebunan teh yang merupakan satu-satunya di Provinsi
Bengkulu, semua menanti untuk digarap, dikemas lalu dipasarkan secara
profesional.
Entah disadari atau tidak, Kepahiang bahkan pernah menjadi
daerah tujuan penelitian dalam Simposium Internasional Rafflesia dan
Amorphopallus 2015 silam. Sebuah kesempatan langka yang gagal terwujud karena
pemerintah daerah setempat tidak hadir menjadi tuan rumah.
Berbicara tentang potensi wisata, tentu semuanya tidak akan
terlepas dari rencana-rencana pembangunan berkelanjutan dan terpadu. Secara
kasat mata, banyak sudut pandang yang memerlukan perbaikan infrastruktur yang
berupa kemudahan atau fasilitas. Akan tetapi, tanpa kita sadari pembangunan
secara langsung akan membawa perubahan dalam diri manusia, masyarakat, dan
lingkungan hidupnya. Baik itu lingkungan alam fisis, maupun
lingkungan sosial budayanya. Secara umum kebudayaan merupakan unsur
penting dalam proses pembangunan suatu
bangsa. Lebih-lebih jika bangsa itu
sedang membentuk watak dan kepribadiannya yang lebih serasi dengan tantangan
zamannya.
Oleh
karena itu, sebagai daerah yang baru berkembang ‘identitas diri’ dianggap
sebuah keharusan disamping usaha pembangunan yang dilakukan. Serentak dengan
laju pembangunan, terjadi pula dinamika masyarakat sebagai salah satu dampak
pembangunan. Akan terjadi perubahan sikap terhadap nilai-nilai budaya yang sudah
ada. Terjadilah pergeseran sistem nilai budaya yang membawa perubahan pula
dalam hubungan interaksi manusia dalam masyarakatnya. Untuk itu, harus ada antisipasi dalam usaha pembangunan yang nantinya akan merubah bahkan menggeser kebudayaan yang telah ada di suatu daerah.
Dewasa ini kita
dihadapkan kepada tiga masalah yang
saling berkaitan yaitu:
- Suatu
kenyataan bahwa Kepahiang terdiri atas beberapa suku dengan latar belakang
sosio-budaya yang beraneka ragam. Kemajemukan masyarakat tersebut tercermin
dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, diperlukan sikap yang mampu
mengatasi ikatan-ikatan primordial, kesukuan, dan kedaerahan
- Pembangunan
telah membawa perubahan dalam masyarakat. Perubahan itu berupa terjadinya
pergeseran sistem nilai budaya penyikapan anggota masyarakat terhadap
nilai-nilai budaya. Pembangunan telah menimbulkan mobilitas sosial yang diikuti
oleh hubungan antaraksi yang bergeser dalam kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Sementara itu terjadi pula penyesuaian dalam hubungan antar anggota masyarakat.
Dapat dipahami apabila pergeseran nilai-nilai itu membawa akibat jauh dalam
kehidupan kita sebagai bangsa.
- Kemampuan
dalam bidang teknologi dan komunikasi massa, transportasi, membawa pengaruh
terhadap intensitas kontak budaya antar suku maupun dengan kebudayaan dari
luar. Khusus dengan terjadinya kontak budaya dengan kebudayaan asing itu bukan
hanya intensitasnya menjadi lebiih besar, tetapi juga penyebaranya berlangsung
dengan cepat dan luas jangkauanya. Terjadilah perubahan orientasi budaya yang
kadang kadang menimbulkan dampak terhadap tata nilai masyarakat yang sedang
menumbuhkan identitasnya sendiri sebagai bangsa.
Melihat hal itu, bagaimana seharusnya
identitas diri itu diciptakan? Apalagi, wacana bupati untuk membangun rumah
adat yang dianggap sebagai bagian dari identitas daerah. Waw, sungguh sesuatu
yang perlu mendapatkan apresiasi. Banyak masyarakat bertanya-tanya tentang
bagaimana sebenarnya bentuk rumah adat yang dimaksud. Banyak penafsiran tentang
wacana tersebut, sebagian masyarakat beranggapan bahwa rumah adat ialah rumah tradisional. Padahal keduanya memiliki makna yang berbeda dan sama-sama merujuk pada hakikat yang sama.
Agar
tidak keliru, akan dipaparkan bagaimana makna sesungguhnya antara rumah adat
dan rumah tradisional yang biasa kita sebut rumah berciri khas daerah. Menurut Siswono Yudohusodo (2007) Rumah Adat adalah bangunan yang memiliki
ciri khas khusus, yang digunakan untuk tempat hunian oleh suatu suku bangsa
tertentu. Biasanya, rumah adat digunakan sebagai pusat berkumpulnya tokoh
masyarakat untuk membahas semua permasalahan yang berkaitan dengan adat
istiadat, hubungan sosial, hukum adat, tabu, mitos dan agama yang mengikat penduduk desa secara bersama-sama. Oleh karena itu, rumah adat menjadi
salah satu representasi kebudayaan yang paling tinggi dalam sebuah komunitas
suku/masyarakat.
Sedangkan rumah tradisional adalah rumah yang dibangun dengan cara yang sama
dari generasi kegenerasi dan tanpa atau sedikitpun mengalami perubahan. Rumah
tradisional dapat juga dikatakan sebagai rumah yang dibangun dengan
memperhatikan kegunaan, serta fungsi sosial dan arti budaya dibalik corak atau
gaya bangunan. Rumah tradisional ialah ungkapan bentuk rumah karya manusia yang
merupakan salah satu unsur kebudayaan yang tumbuh atau berkembang bersamaan
dengan tumbuh kembangnya kebudayaan dalam masyarakat. Seperti halnya rumah khas
Minangkabau yang seiring berkembangnya zaman bentuk arsitektur bangunan tidak
mengalami perubahan. Rumah tradisional merupakan komponen penting dari unsur
fisik cerminan budaya dan kecendrungan sifat budaya yang terbentuk dari tradisi
dalam masyarakat. Dari rumah tradisional tersebutlah masyarakat dapat
melambangkan cara hidup, ekonomi dan lain-lain.
Pembangunan rumah adat yang katanya akan segera
direalisasikan tentu akan memperoleh dukungan dari masyarakat. Karena pembangunan
tersebut digunakan sebagai balai adat dan kantor BMA yang siap menjadi titik
tolak kegiatan masyarakat setempat. Terlepas dari arsitektur bangunan yang
masih absurd, rumah adat yang akan dibangun nantinya diharapkan tidak akan
bernasib sama dengan rumah adat salah satu daerah di propinsi Bengkulu (RB, Mukomuko) yang ditakutkan
hanya sebagai hiasan belaka. Rumah adat harusnya digunakan
sebagai tempat berkumpulnya sebuah sistem keadatan. Jika setiap warga memiliki rasa tanggungjawab dan saling memiliki serta memfungsikan rumah adat sebagaimana
mestinya, kerusakan sekecil apapun pasti teratasi. Karena masyarakat yang mampu menjaga adat istiadat adalah manusia
yang berbudaya.