dusun dalamku sayang
dusun dalamku hilang
disinilah sajaku tak tuntas
sejauh siuh angin yang berlalu hilang lamat

hanya tertanam pancang badan
namamu yang agung serupa keramat
terkurung dari aur air ketapang
rapat tak tembus mata memandang

aku mewarisi dukamu dari sekian
catatan yang gugur
timbul tenggelam dan begitu sayu begitu senyap
serupa sriti berputar putar mencari bunyi yang ramai
lalu seketika sauh menjadi lengang
ditinggalkan

engkau yang telah lama terbaring
berhari hari menipis habis di atas padas penjemuran
tak ada sisa lontar yang dapat kubaca
selain sejarah yang tinggal nama saja

dw.syofiani
Maret 2017

Oleh: Dewa Syofiani
 
Wacana akan dipisahkanya antara Dinas Pariwisata dan Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Kepahiang seolah  memberikan angin segar. Betapa tidak, rencana ini sanggup membuka mata setiap lini masyarakat yang menanti inovasi. Dengan diberikanya porsi tanggungjawab yang penuh, Dinas Pariwisata Kepahiang digadang-gadang mampu menggairahkan dunia kepariwisataan. Sektor yang selama ini seolah terlelap diharapkan mampu digarap secara maksimal sehingga dapat mendongkrak perekonomian kerakyatan serta pembangunan di sektor lain.
Potensi wisata yang beragam di wilayah Kepahiang tidak hanya menjadi keunggulan daerah setempat. Namun, sudah sejak lama Kabupaten Kepahiang menjadi kebanggaan Indonesia bahkan di mata dunia. Mulai dari wisata alam pegunungan tropis yang eksotis, wisata edukasi tempat penangkaran bunga terbesar di dunia hingga potensi wisata sejarah perkebunan teh yang merupakan satu-satunya di Provinsi Bengkulu, semua menanti untuk digarap, dikemas lalu dipasarkan secara profesional.
Entah disadari atau tidak, Kepahiang bahkan pernah menjadi daerah tujuan penelitian dalam Simposium Internasional Rafflesia dan Amorphopallus 2015 silam. Sebuah kesempatan langka yang gagal terwujud karena pemerintah daerah setempat tidak hadir menjadi tuan rumah.
Berbicara tentang potensi wisata, tentu semuanya tidak akan terlepas dari rencana-rencana pembangunan berkelanjutan dan terpadu. Secara kasat mata, banyak sudut pandang yang memerlukan perbaikan infrastruktur yang berupa kemudahan atau fasilitas. Akan tetapi, tanpa kita sadari pembangunan secara langsung akan membawa perubahan dalam diri manusia, masyarakat, dan lingkungan hidupnya. Baik itu lingkungan alam fisis, maupun lingkungan sosial budayanya. Secara umum kebudayaan merupakan unsur penting  dalam proses pembangunan suatu bangsa. Lebih-lebih jika  bangsa itu sedang membentuk watak dan kepribadiannya yang lebih serasi dengan tantangan zamannya.
Oleh karena itu, sebagai daerah yang baru berkembang ‘identitas diri’ dianggap sebuah keharusan disamping usaha pembangunan yang dilakukan. Serentak dengan laju pembangunan, terjadi pula dinamika masyarakat sebagai salah satu dampak pembangunan. Akan terjadi perubahan sikap terhadap nilai-nilai budaya yang sudah ada. Terjadilah pergeseran sistem nilai budaya yang membawa perubahan pula dalam hubungan interaksi manusia dalam masyarakatnya. Untuk itu, harus ada antisipasi dalam usaha pembangunan yang nantinya akan merubah bahkan menggeser kebudayaan yang telah ada di suatu daerah. 
Dewasa ini kita dihadapkan kepada  tiga masalah yang saling berkaitan yaitu:
  •  Suatu kenyataan bahwa Kepahiang terdiri atas beberapa suku dengan latar belakang sosio-budaya yang beraneka ragam. Kemajemukan masyarakat tersebut tercermin dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, diperlukan sikap yang mampu mengatasi ikatan-ikatan primordial, kesukuan, dan kedaerahan 
  •  Pembangunan telah membawa perubahan dalam masyarakat. Perubahan itu berupa terjadinya pergeseran sistem nilai budaya penyikapan anggota masyarakat terhadap nilai-nilai budaya. Pembangunan telah menimbulkan mobilitas sosial yang diikuti oleh hubungan antaraksi yang bergeser dalam kelompok-kelompok dalam masyarakat. Sementara itu terjadi pula penyesuaian dalam hubungan antar anggota masyarakat. Dapat dipahami apabila pergeseran nilai-nilai itu membawa akibat jauh dalam kehidupan kita sebagai bangsa.
  • Kemampuan dalam bidang teknologi dan komunikasi massa, transportasi, membawa pengaruh terhadap intensitas kontak budaya antar suku maupun dengan kebudayaan dari luar. Khusus dengan terjadinya kontak budaya dengan kebudayaan asing itu bukan hanya intensitasnya menjadi lebiih besar, tetapi juga penyebaranya berlangsung dengan cepat dan luas jangkauanya. Terjadilah perubahan orientasi budaya yang kadang kadang menimbulkan dampak terhadap tata nilai masyarakat yang sedang menumbuhkan identitasnya sendiri sebagai bangsa.

 Melihat hal itu, bagaimana seharusnya identitas diri itu diciptakan? Apalagi, wacana bupati untuk membangun rumah adat yang dianggap sebagai bagian dari identitas daerah. Waw, sungguh sesuatu yang perlu mendapatkan apresiasi. Banyak masyarakat bertanya-tanya tentang bagaimana sebenarnya bentuk rumah adat yang dimaksud. Banyak penafsiran tentang wacana tersebut, sebagian masyarakat beranggapan bahwa rumah adat ialah rumah tradisional. Padahal keduanya memiliki makna yang berbeda dan sama-sama merujuk pada hakikat yang sama.
Agar tidak keliru, akan dipaparkan bagaimana makna sesungguhnya antara rumah adat dan rumah tradisional yang biasa kita sebut rumah berciri khas daerah. Menurut Siswono Yudohusodo (2007) Rumah Adat adalah bangunan yang memiliki ciri khas khusus, yang digunakan untuk tempat hunian oleh suatu suku bangsa tertentu. Biasanya, rumah adat digunakan sebagai pusat berkumpulnya tokoh masyarakat untuk membahas semua permasalahan yang berkaitan dengan adat istiadat, hubungan sosial, hukum adat, tabu, mitos dan agama yang mengikat penduduk desa secara bersama-sama. Oleh karena itu, rumah adat menjadi salah satu representasi kebudayaan yang paling tinggi dalam sebuah komunitas suku/masyarakat.
Sedangkan rumah tradisional adalah rumah yang dibangun dengan cara yang sama dari generasi kegenerasi dan tanpa atau sedikitpun mengalami perubahan. Rumah tradisional dapat juga dikatakan sebagai rumah yang dibangun dengan memperhatikan kegunaan, serta fungsi sosial dan arti budaya dibalik corak atau gaya bangunan. Rumah tradisional ialah ungkapan bentuk rumah karya manusia yang merupakan salah satu unsur kebudayaan yang tumbuh atau berkembang bersamaan dengan tumbuh kembangnya kebudayaan dalam masyarakat. Seperti halnya rumah khas Minangkabau yang seiring berkembangnya zaman bentuk arsitektur bangunan tidak mengalami perubahan. Rumah tradisional merupakan komponen penting dari unsur fisik cerminan budaya dan kecendrungan sifat budaya yang terbentuk dari tradisi dalam masyarakat. Dari rumah tradisional tersebutlah masyarakat dapat melambangkan cara hidup, ekonomi dan lain-lain.
Pembangunan rumah adat yang katanya akan segera direalisasikan tentu akan memperoleh dukungan dari masyarakat. Karena pembangunan tersebut digunakan sebagai balai adat dan kantor BMA yang siap menjadi titik tolak kegiatan masyarakat setempat. Terlepas dari arsitektur bangunan yang masih absurd, rumah adat yang akan dibangun nantinya diharapkan tidak akan bernasib sama dengan rumah adat salah satu daerah di propinsi Bengkulu (RB, Mukomuko) yang ditakutkan hanya sebagai hiasan belaka.  Rumah adat harusnya digunakan sebagai tempat berkumpulnya sebuah sistem keadatan. Jika setiap warga memiliki rasa  tanggungjawab dan saling memiliki serta memfungsikan rumah adat sebagaimana mestinya, kerusakan sekecil apapun pasti teratasi. Karena masyarakat yang mampu menjaga adat istiadat adalah manusia yang berbudaya.
Oleh: Dewa Syofiani

Sejarah seringkali dikaitkan dengan penjajahan bangsa luar dan perjuangan rakyat. Akan tetapi, tidak sedikit masyarakat berpikir bahwa kedatangan bangsa luar memberi ruang berkembangnya peradaban manusia di suatu daerah yang disinggahi di Indonesia. Namun, sebagian masyarakat juga berpendapat bahwa pulau Sumatra mengalami eksploitasi besar-besaran terutama dalam pengembangan perkebunan. Pembukaan hutan-hutan, penanaman tanaman komoditi, mengalirnya investasi dalam jumlah besar ke wilayah ini, dan pencarian tenaga kerja dari luar untuk mendukung eksploitasi perkebunan yang berakibat Sumatra menjadi wilayah penting.

 
Pembukaan lahan perkebunan kopi (westkust) Kab. Kepahiang Tahun 1908


Sebagian peninggalan bangsa penjajah tetap menjadi sarana pembangunan dan pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia seperti perkebunan dan pertambangan. Kita tidak bisa mengelak bahwa kenyataanya hingga saat ini masyarakat Indonesia  bertahan hidup dengan mewarisi sebagian besar apa yang ditinggalkan oleh bangsa luar seperti Belanda. Sebut saja perkebunan teh yang berada di Kabawetan Kabupaten Kepahiang. Selain itu, peninggalan Belanda yang paling istimewa lainnya di Kabupaten Kepahiang ialah keanekaragaman kulturalnya. Belanda berperan penting terhadap penyebaran suku yang tersebar seantero Kepahiang. Sehingga Kepahiang dikenal sebagai kota multikultural yang didalamnya lebih dominan suku pendatang yang meliputi suku Jawa, Sunda, Bali, Minangkabau, Batak, Serawai, Lembak dan Rejang sendiri yang merupakan suku asli daerah Kepahiang. Jika ditelisik lebih jauh, setiap suku pendatang di daerah Kepahiang memiliki keunikan sejarah tersendiri yang akhirnya memilih untuk menetap di Kepahiang.
Pabrik kopi di Barat Wetan Tahun 1926

Menurut Lindayani dalam sebuah tesisnya, pada tahun 1908 Kabawetan menjadi daerah pusat kolonisasi  alternatif tahap pertama di Bengkulu dengan mendatangkan orang Jawa dan Sunda. Kabawetan dinilai memiliki tanah yang subur untuk dijadikan lahan perkebunan. Awalnya, lahan dibuka untuk perkebunan kopi oleh Belanda. Pembukaan lahan perkebunan kopi tersebut membentang luas dari perbatasan Kabupaten Rejang Lebong dan Kepahiang tepatnya daerah Bengko, Merigi, Suro Muncar, Kelobak, Proyek (Babakan Bogor), Barat Wetan hingga pegunungan weskust. Setelah perkebunan kopi, Belanda juga membuka perkebunan teh.  Perkebunan teh yang dibuka oleh belanda ini dinilai sangat sesuai dengan kondisi alam, mengingat letak geografisnya di ketinggian 1000m di atas permukaan laut.

Lahan Penanaman Teh Kabawetan Tahun 1930-1935
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan dan membuka lahan pertanian, orang Jawa dan Sunda sengaja didatangkan dengan alasan bahwa orang jawa merupakan tipe pekerja-pekerja yang rajin dan tahan bekerja serta memiliki keterampilan dalam bidang pertanian yang cukup tinggi sehingga mereka mudah menyesuaikan diri bekerja di perkebunan. Suku Sunda lebih dulu didatangkan ke daerah Kepahiang ketimbang suku Jawa dalam rentang tahun 1908 hingga tahun 1919. Hal ini dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan hasil kesepakatan para kontrolir pada suku asli yang mendiami daerah rejang untuk membuka daerah kolonisasi. Pembukaan lahan pertanian serta peternakan ( beternak ikan mas) menjadi alasan suku Sunda didatangkan untuk membantu suku Rejang mengembangkan Program Peningkatan Pendapatan Penduduk Rejang. Program ini diawali dengan pengenalan bibit padi dan bibit ikan emas. Bersamaan dengan itu, ada beberapa kelompok orang-orang Jawa yang telah didatangkan namun, masih dalam masa percobaan. Sedangkan Suku Jawa baru didatangkan secara resmi mulai tahun 1930 sampai tahun 1940 sebagai kuli kontrak perkebunan di Kabawetan.

Buruh Perkebunan Teh tahun 2013







Setelah Perkebunan teh berjalan, perkebunan kopi akhirnya dijadikan sebagai penunjang bahan bakar pengolahan teh. Orang-orang Jawa yang didatangkan khusus untuk menjadi kuli kontrak diberikan tempat tinggal, gaji, bahan makanan serta bantuan kesehatan lainya. Setelah kontrak habis, sebagian orang jawa tersebut kembali ke tempat asalnya. Beberapa dari mereka ada juga yang memutuskan untuk tetap tinggal di Kabawetan tanpa bantuan dari pemerintah. Banyak faktor yang membuat kuli kontrak tetap tinggal di Kabawetan, seperti pernikahan dengan warga asli rejang dan banyaknya kuli kontrak yang masih memiliki tanggungan hutang pada perusahaan. Mereka bertahan hidup dengan mengolah lahan pertanian hingga terjadi kemelut politik tahun 1942-1950 hingga akhirnya perkebunan teh yang berada di Kabawetan jatuh ke tangan pemerintah Indonesia.
Nasib bekas kuli kontrak yang bekerja di perkebunan Kabawetan berbeda dengan kuli yang bekerja di daerah Rejang Lebong lainya. Pasca Kemerdekaan, kuli kontrak menempati lahan bekas perusahaan dengan membayar ganti rugi yang murah karena perusahaan perkebunan tidak dioperasikan pada masa bangsa Jepang yang menduduki wilayah Indonesia. Karena hal itulah, bekas kuli kontrak perkebunan Kabawetan akhirnya mengalami sengketa tanah saat lahan perkebunan diambil alih kembali oleh pemerintah Indonesia dan mulai dioperasikan. Sedangkan dilahan perkebunan teh tersebut telah berdiri beberapa desa seperti Air Sempiang, Lambao, Barat Wetan, Tangsi baru, dan Tangsi Duren.

Foto panoramik, barak pekerja, kantor administrasi dan guest house Kabawetan tahun 1920

Sebelum perkebunan dapat berfungsi dengan baik, pada pertengahan Agustus tahun 1957 meletus peristiwa PRRI. Saat itu, pendukung gerakan PRRI yang dipimpin oleh Mayor Nawawi dari Sumatra Barat melakukan desersi ke Bengkulu. Pada saat itulah areal perkebunan teh dirusak dan sebagian pabrik teh di Kabawetan terbakar. Setelah peristiwa tersebut semua aktivitas perkebunan dihentikan. Dalam masa vakum, lahan perkebunan dijadikan kebun dan sawah oleh penduduk setempat dengan status hak pakai yang artinya penduduk hanya memiliki hak untuk menggunakan lahan,  namun tidak dapat memilikinya ataupun menjualnya.
Lahan Pembibitan Teh di Kabawetan 1930-1935
Pada tahun 1986 mantan Gubernur Bengkulu Abdul Chalik (Gubernur Bengkulu 1974-1979) berencana kembali membuka lahan perkebunan di Kabawetan yang awalnya seluas 1.900 ha yang terdiri dari dataran perbukitan. Akhirnya ditetapkan tanah seluas 1.000 ha untuk diserahkan ke PT. Sarana Mandiri Mukti sebagai lahan perkebunan teh yang kurang lebih 250 ha didalamnya terdapat lahan milik empat desa yakni Desa Air Sempiang, Tangsi Baru, Tangsi Duren, dan Desa Barat Wetan, pekuburan umum, jurang, sungai, dan jalan sehingga pemerintah harus memberikan ganti rugi untuk tanaman penduduk.
Pada masa peralihan, ketegangan antara penduduk dan perusahaan tetap terus terjadi karena ganti rugi yang di dapatkan penduduk masih terlalu kecil. Akhirnya pertengahan tahun 1989 warga mulai berpindah tempat ke daerah batas-batas desa.


Sejak tahun 1990 Kabawetan memiliki dua perusahaan perkebunan teh yang terdiri dari PT. Trisula yang dimiliki oleh pengusaha Taiwan dan PT. Sarana Mandiri Mukti milik pemerintah Bengkulu. Kedua perusahaan ini lebih suka mempekerjakan orang Jawa dibandingkan pekerja orang rejang dengan alasan orang Jawa dan orang Sunda lebih tekun bekerja. Perusahaan, lebih memilih untuk mempekerjakan warga setempat ketimbang mendatangkan kembali orang-orang dari Jawa. Akhirnya, koloni Jawa yang tinggal di Desa Barat Wetan dan Babakan Bogor bekerja di PT. Trisula, sedangkan koloni Jawa dari desa yang lainya bekerja di PT. Sarana Mandiri Mukti.
Pemetik Teh tahun 2013
Namun, perjuangan masyarakat Jawa terus berlanjut untuk mendapatkan hak-hak sebagai warga negara Indonesia. Hal ini terbukti dari usaha Bupati Rejang Lebong periode 1994-1999 Muslihan Diding Sutrisno atau yang lebih dikenal dengan Muslihan DS yang menggagas inclave sertifikat bagi masyarakat Jawa Kabawetan yang dahulu bagian dari Kab. Rejang Lebong. Gagasan tersebut tentu menumbuhkan harapan yang besar bagi masyarakat Jawa yang menginginkan status yang jelas bagi tempat tinggal dan lahan sebagai sumber kehidupan.
Nurwito, Ketua Panitia Inclave Sertifikat
Akan tetapi, dalam rentang waktu kurang lebih 18 tahun gagasan tersebut hanya berjalan di tempat. Melihat hal itu, pada tahun 2012 masyarakat Jawa kembali melanjutkan perjuangan untuk mendapatkan haknya dengan bantuan tokoh masyarakat Kabawetan bersama semua panitia masing-masing desa dengan membentuk kepanitiaan besar. Selain itu, pemerintah daerah Kabupaten Kepahiang juga menyambut dengan baik keinginan masyarakatnya dengan memasukkannya dalam program prona. Menurut Bando Amin, desa tersebut perlu mendapatkan hak miliknya dan menyatakan akan medukung perjuangan inclave sertifikat agar dapat berjalan kembali.
Masyarakat sudah menguasai lahan dengan bentuk perumahan dan lahan pertanian, hal itulah yang menjadi patokan penentuan pembagian sertifikat. Pembagian sertifikat tidak dilakukan dengan membagi rata lahan. Akan tetapi, penentuan sertifikat berdasarkan lahan yang memang sudah dikuasai dan yang sudah menjadi hak milik masyarakat itu sendiri. Total lahan yang dikuasai oleh masyarakat Jawa sebesar 224 ha termasuk kantor camat dan Puskesmas dari jumlah HGU perkebunan sebesar 1000 ha.
Setelah program prona disahkan dan Rapat Pemegang Saham (RPS) berjalan dengan lancar tanpa hambatan, Pemerintah Kabupaten Kepahiang melalui Badan Petanahan Negara (BPN) segera melakukan tahap pengukuran untuk pembuatan sertifikat.  Kemudian  dari 224 ha tersebut dipecah menjadi 1.236 persil atau sertifikat dan dibagikan kepada enam desa pada tanggal 10 November 2013 oleh Bupati Kepahiang Bando Amin C. Kader. MM. Sedangkan enam desa tersebut meliputi Desa Air Sempiang, Sidomakmur, Barat Wetan, Tangsi Baru, Tangsi Duren dan Tugu Rejo.  

Penyerahan Inclave sertifikat oleh Bupati Bando Amin C. Kader.MM (Dok.BE)tahun 2013
Pesta meriah pun digelar sebagai wujud syukur masyarakat Jawa dengan menyelenggarakan wayang semalam suntuk. Hal ini dianggap sebagai kemenangan masyarakat Jawa di Kabawetan dengan mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia tanpa harus hidup dalam bayang bayang ketakutan yang selama ini menjadi sebuah ‘momok’.  Inclave sertifikat tentu menjadi sebuah tonggak sejarah tersendiri yang akan terus diwariskan kepada anak cucu mereka. Sebagai pengingat perjuangan, bahwa eks koloni Jawa juga merupakan bagian dari sebuah sejarah Bangsa Indonesia yang patut dicatat dan dibanggakan.


Rujukan:
Lindayani, 2007. Bengkulu Pusat Koloni Alternatif, sebuah Tesis  untuk mendapatkan gelar S2 UGM.Yogyakarta.

Wawancara dengan Nurwito ketua panitia inclave sertifikat, Desa Barat Wetan (Kabawetan), tanggal  22 November 2015.