Oleh: Dewa Syofiani
Pembukaan lahan perkebunan kopi (westkust) Kab. Kepahiang Tahun 1908 |
Sebagian peninggalan bangsa penjajah tetap menjadi sarana pembangunan dan pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia seperti perkebunan dan pertambangan. Kita tidak bisa mengelak bahwa kenyataanya hingga saat ini masyarakat Indonesia bertahan hidup dengan mewarisi sebagian besar apa yang ditinggalkan oleh bangsa luar seperti Belanda. Sebut saja perkebunan teh yang berada di Kabawetan Kabupaten Kepahiang. Selain itu, peninggalan Belanda yang paling istimewa lainnya di Kabupaten Kepahiang ialah keanekaragaman kulturalnya. Belanda berperan penting terhadap penyebaran suku yang tersebar seantero Kepahiang. Sehingga Kepahiang dikenal sebagai kota multikultural yang didalamnya lebih dominan suku pendatang yang meliputi suku Jawa, Sunda, Bali, Minangkabau, Batak, Serawai, Lembak dan Rejang sendiri yang merupakan suku asli daerah Kepahiang. Jika ditelisik lebih jauh, setiap suku pendatang di daerah Kepahiang memiliki keunikan sejarah tersendiri yang akhirnya memilih untuk menetap di Kepahiang.
Pabrik kopi di Barat Wetan Tahun 1926 |
Menurut Lindayani dalam sebuah tesisnya, pada tahun 1908 Kabawetan menjadi daerah pusat kolonisasi alternatif tahap pertama di Bengkulu dengan mendatangkan orang Jawa dan Sunda. Kabawetan dinilai memiliki tanah yang subur untuk dijadikan lahan perkebunan. Awalnya, lahan dibuka untuk perkebunan kopi oleh Belanda. Pembukaan lahan perkebunan kopi tersebut membentang luas dari perbatasan Kabupaten Rejang Lebong dan Kepahiang tepatnya daerah Bengko, Merigi, Suro Muncar, Kelobak, Proyek (Babakan Bogor), Barat Wetan hingga pegunungan weskust. Setelah perkebunan kopi, Belanda juga membuka perkebunan teh. Perkebunan teh yang dibuka oleh belanda ini dinilai sangat sesuai dengan kondisi alam, mengingat letak geografisnya di ketinggian 1000m di atas permukaan laut.
Lahan Penanaman Teh Kabawetan Tahun 1930-1935 |
Buruh Perkebunan Teh tahun 2013 |
Nasib bekas kuli kontrak yang bekerja di perkebunan Kabawetan berbeda
dengan kuli yang bekerja di daerah Rejang Lebong lainya. Pasca Kemerdekaan,
kuli kontrak menempati lahan bekas perusahaan dengan membayar ganti rugi yang
murah karena perusahaan perkebunan tidak dioperasikan pada masa bangsa Jepang yang
menduduki wilayah Indonesia. Karena hal itulah, bekas kuli kontrak
perkebunan Kabawetan akhirnya mengalami sengketa tanah saat lahan perkebunan diambil
alih kembali oleh pemerintah Indonesia dan mulai dioperasikan. Sedangkan
dilahan perkebunan teh tersebut telah berdiri beberapa desa seperti Air
Sempiang, Lambao, Barat Wetan, Tangsi baru, dan Tangsi Duren.
Foto panoramik, barak pekerja, kantor administrasi dan guest house Kabawetan tahun 1920 |
Sebelum perkebunan dapat berfungsi dengan baik, pada pertengahan Agustus tahun 1957 meletus peristiwa PRRI. Saat itu, pendukung gerakan PRRI yang dipimpin oleh Mayor Nawawi dari Sumatra Barat melakukan desersi ke Bengkulu. Pada saat itulah areal perkebunan teh dirusak dan sebagian pabrik teh di Kabawetan terbakar. Setelah peristiwa tersebut semua aktivitas perkebunan dihentikan. Dalam masa vakum, lahan perkebunan dijadikan kebun dan sawah oleh penduduk setempat dengan status hak pakai yang artinya penduduk hanya memiliki hak untuk menggunakan lahan, namun tidak dapat memilikinya ataupun menjualnya.
Lahan Pembibitan Teh di Kabawetan 1930-1935 |
Pada tahun 1986 mantan Gubernur Bengkulu Abdul Chalik (Gubernur Bengkulu
1974-1979) berencana kembali membuka lahan perkebunan di Kabawetan yang awalnya
seluas 1.900 ha yang terdiri dari dataran perbukitan. Akhirnya ditetapkan tanah
seluas 1.000 ha untuk diserahkan ke PT. Sarana Mandiri Mukti sebagai lahan perkebunan
teh yang kurang lebih 250 ha didalamnya terdapat lahan milik empat desa yakni
Desa Air Sempiang, Tangsi Baru, Tangsi Duren, dan Desa Barat Wetan, pekuburan
umum, jurang, sungai, dan jalan sehingga pemerintah harus memberikan ganti rugi
untuk tanaman penduduk.
Pada masa peralihan, ketegangan antara penduduk dan perusahaan tetap
terus terjadi karena ganti rugi yang di dapatkan penduduk masih terlalu kecil.
Akhirnya pertengahan tahun 1989 warga mulai berpindah tempat ke daerah batas-batas
desa.
Sejak tahun 1990 Kabawetan memiliki dua perusahaan perkebunan teh yang
terdiri dari PT. Trisula yang dimiliki oleh pengusaha Taiwan dan PT. Sarana Mandiri
Mukti milik pemerintah Bengkulu. Kedua perusahaan ini lebih suka mempekerjakan
orang Jawa dibandingkan pekerja orang rejang dengan alasan orang Jawa dan orang
Sunda lebih tekun bekerja. Perusahaan, lebih memilih untuk mempekerjakan warga
setempat ketimbang mendatangkan kembali orang-orang dari Jawa. Akhirnya, koloni
Jawa yang tinggal di Desa Barat Wetan dan Babakan Bogor bekerja di PT. Trisula,
sedangkan koloni Jawa dari desa yang lainya bekerja di PT. Sarana Mandiri Mukti.
Pemetik Teh tahun 2013 |
Nurwito, Ketua Panitia Inclave Sertifikat |
Masyarakat sudah
menguasai lahan dengan bentuk perumahan dan lahan pertanian, hal itulah yang
menjadi patokan penentuan pembagian sertifikat. Pembagian sertifikat tidak
dilakukan dengan membagi rata lahan. Akan tetapi, penentuan sertifikat
berdasarkan lahan yang memang sudah dikuasai dan yang sudah menjadi hak milik
masyarakat itu sendiri. Total lahan yang dikuasai oleh masyarakat Jawa sebesar
224 ha termasuk kantor camat dan Puskesmas dari jumlah HGU perkebunan sebesar
1000 ha.
Setelah program prona disahkan dan Rapat Pemegang Saham (RPS) berjalan
dengan lancar tanpa hambatan, Pemerintah Kabupaten Kepahiang melalui Badan
Petanahan Negara (BPN) segera melakukan tahap pengukuran untuk pembuatan
sertifikat. Kemudian dari 224 ha tersebut dipecah menjadi 1.236
persil atau sertifikat dan dibagikan kepada enam desa pada tanggal 10 November
2013 oleh Bupati Kepahiang Bando Amin C. Kader. MM. Sedangkan enam desa
tersebut meliputi Desa Air Sempiang, Sidomakmur, Barat Wetan, Tangsi Baru,
Tangsi Duren dan Tugu Rejo.
Penyerahan Inclave sertifikat oleh Bupati Bando Amin C. Kader.MM (Dok.BE)tahun 2013 |
Pesta meriah pun digelar sebagai wujud syukur masyarakat
Jawa dengan menyelenggarakan wayang semalam suntuk. Hal ini dianggap sebagai
kemenangan masyarakat Jawa di Kabawetan dengan mendapatkan hak-haknya sebagai
warga negara Indonesia tanpa harus hidup dalam bayang bayang ketakutan yang
selama ini menjadi sebuah ‘momok’.
Inclave sertifikat tentu menjadi sebuah tonggak sejarah tersendiri yang
akan terus diwariskan kepada anak cucu mereka. Sebagai pengingat perjuangan,
bahwa eks koloni Jawa juga merupakan bagian dari sebuah sejarah Bangsa
Indonesia yang patut dicatat dan dibanggakan.
Rujukan:
Lindayani, 2007. Bengkulu Pusat Koloni Alternatif, sebuah Tesis untuk mendapatkan gelar S2 UGM.Yogyakarta.
Wawancara dengan Nurwito ketua panitia inclave sertifikat, Desa Barat Wetan (Kabawetan), tanggal 22 November 2015.
Rujukan:
Lindayani, 2007. Bengkulu Pusat Koloni Alternatif, sebuah Tesis untuk mendapatkan gelar S2 UGM.Yogyakarta.
Wawancara dengan Nurwito ketua panitia inclave sertifikat, Desa Barat Wetan (Kabawetan), tanggal 22 November 2015.
Saya baru saja pulang dari sana pak, kakek saya kelahiran Kepahyang, Ayah saya kelahiran Krooi. Senang sekali bisa menginjak kaki di Kepahyang. Izin mengutip tulisan bapak yaa
ReplyDelete