ADA APA DENGAN SASTRA, DAN BAHASA INDONESIA

Sistem penerimaan calon pegawai negeri sipil yang menggunakan Computer Assisted Test (CAT) baru baru ini masih meninggalkan banyak PR. Karena pasca pengumuman hasil tes disejumlah instansi daerah masih terdapat kericuhan yang sifatnya krusial. Mulai dari pembangunan sistem online yang masih sering tidak bisa di akses hingga bagaimana cara perengkingan yang masih amburadul. Bagaimana tidak, hasil perengkingan yang menurut pemerintah daerah adalah tanggungjawab panselnas tersebut seringkali tidak nyambung dan tidak jelas. Misalnya, bagaimana perengkingan antara setiap jurusan yang dipilih oleh pelamar yang dikategorikan pilihan satu, dua dan tiga. Kemudian masalah juga muncul dari tidak jelasnya kebijakan yang dibuat untuk setiap jurusan yang  Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan Memenui Syarat (MS) bagi peserta tes. Hal tersebut mungkin dikarenakan tidak sinkronya setiap kebijakan yang dilahirkan pihak BKN pusat dan pemerintah daerah. Parahnya, penetapan TMS maupun MS akan sangat berpengaruh besar pada sistem perengkingan. Bisa saja kategori TMS dan MS antara instansi daerah berbeda dengan Panselnas. Sehingga yang dinyatakan TMS oleh instansi daerah bisa jadi MS di Panselnas.
Kesan saling lempar
Pada dasarnya daerah otonom melaksanakan setiap urusan pemerintahannya sendiri melalui pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat untuk berbagai bidang. Tujuanya sudah pasti untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat. Dengan wewenang yang dimilikinya, pemerintah daerah akan dapat merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
Begitu juga dengan penyelenggaraan tes CPNS yang diselenggarakan di setiap instansi daerah di seluruh Indonesia. Untuk itu, banyak kebijakan kebijakan yang diciptakan sendiri oleh pemerintah daerah yang tentu saja hal tersebut tetap mengacu pada juknis yang diedarkan pemerintah pusat.
Sayangnya, kebijakan yang dihasilkan pemerintah daerah  terkadang terkesan kolot dan tidak fleksibel. Karena naluri ingin tetap otonom, pemerintah daerah acapkali salah interpretasi tentang kebijakan. Akhirnya kebijakan yang dihasilkan tidak sinkron dengan acuan pusat.  Misalnya saja yang terjadi di Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu, tentang penentuan TMS dan MS. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dinyatakan TMS untuk kualifikasi guru Bahasa Indonesia Pertama. Karena menurut instansi terkait, yang dibutuhkan untuk guru Bahasa Indonesia adalah S1 Pendidikan Bahasa Indonesia, bukan S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan atau sebagainya. Intinya, pelamar yang merupakan lulusan guru Bahasa Indonesia dari universitas terkenal sekalipun jika ada embel-embel sastra secara otomatis dinyatakan gugur atau TMS. Tentu saja menjadi pertanyaan yang besar. Ada apa dengan sastra?
Hal seperti itulah sebenarnya  yang seringkali merugikan para pelamar bahkan untuk daerah itu sendiri. Buktinya, pasca pengumuman hasil tes CPNS kuota untuk guru Bahasa Indonesia di Kepahiang belum terpenuhi. Nah disinilah aksi saling lempar terjadi antara pemerintah daerah dan Panselnas BKN pusat. Menurut BKD Kepahiang, itu adalah aturan atau kebijakan yang baku dari Panselnas dan tidak bisa ditoleran. Ketika pihak panselnas dikonfirmasi, pihak panselnas menerangkan bahwa untuk urusan TMS atau MS itu adalah kebijakan atau wewenang pemerintah daerah sebagai penyelenggara. Membingungkan memang.

Bagaimana Nasib Bahasa dan Sastra di Sekolah?
Inilah sekarang pertanyaanya. Apakah sekolah sudah tidak membutuhkan sastra dalam pembelajaran Bahasa Indonesia? Sedangkan setiap tahun pemerintah memiliki program Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional  (FLS2N) yang di dalamnya ada seni dan sastra. Lalu, apakah sastra dapat dipisahkan dari bahasa Indonesia? Berapa banyak Universitas yang ada di Indonesia yang memiliki jurusan yang hanya Pendidikan Bahasa Indonesia?
Sedangkan menurut referensi, hanya ada dua Universitas se-Indonesia yang memiliki prodi Pendidikan Bahasa Indonesia seperti Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten dan Universitas Muhamadiyah Prof. Dr. Hamka atau UHAMKA Jakarta. Itu pun masih dipertanyakan akreditasinya. Selebihnya, belum ada perubahan untuk jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di universitas negeri yang mewarisi IKIP lama di seluruh Indonesia.
Disamping itu, menurut Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Ditjen Dikti, fakultas keguruan di seluruh wilayah nusantara yang masuk dalam daftar dan diakui salah satunya adalah jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, atau Pendidikan Bahasa dan Sastra Indoesia dan Daerah. Sedangkan jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia saja hingga saat ini belum termasuk dalam daftar jurusan pendidikan yang diakui Kopertisi Ditjen Dikti. Nah, apakah jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia masih tidak layak menjadi guru Bahasa Indonesia?
Anggap saja ini adalah kekeliruan tim verifikasi berkas tes cpns, yang kurang memahami dan sedikit khilaf. Dengan adanya hal tersebut, baiknya kita juga membuka mata dan memperhatiakan pendidikan dari semua lini. Tentunya, kita mengharapkan perubahan yang baik dan adil ke depanya.
Mungkin sudah saatnya Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia mengalami perubahan. Antara Bahasa dan Sastra harusnya diberikan porsi yang sama besar. Agar pengaplikasian ilmu antara bahasa dan sastra di sekolah seimbang. Bukan mendiskriminasi sastra dengan keji. Tidak ada yang salah pada sastra, toh sastra juga masih dibutuhkan di sekolah. Untuk membangun kepribadian generasi bangsa. Perguruan tinggi yang mencetak banyak guru pun perlu memikirkan agar memiliki Prodi Pendidikan Sastra Indonesia sendiri tanpa harus menempel pada program studi Bahasa Indonesia.

0 comments:

Post a Comment