Entitas Sastra Sekolah

Catatan Juri FLS2N Kabupaten Kepahiang
Oleh Dewa Syofiani


Perkembangan Bahasa dan Sastra Indonesia di dunia pendidikan formal (SD,SMP,SMA) Provinsi  Bengkulu pada khususnya sangat memperihatinkan. Bahasa Indonesia masih dianggap mata pelajaran yang sepele dikalangan pendidik. Hal ini juga akan berimbas pada ketertarikan peserta didik untuk mencapai kenyamanan dan menggali rasa ingin tahu siswa pada mata pelajaran tersebut.
Padahal, jika dikaji lebih jauh pelajaran bahasa indonesia tidak hanya mempelajari tehnik dan tata berbahasa saja. Namun, di dalamnya terdapat moralitas yang mesti dipertanggungjawabkan. 


Kandungan sastra yang sangat besar dalam Bahasa Indonesia sebenarnya memiliki kaitan yang tidak dapat dipisahkan. Kalaupun dipisahkan, masing masing komponen akan saling merujuk satu sama lain. Namun, deskriminasi yang terjadi pada sastra baru baru ini sepertinya memaksa dua komponen tersebut dipisahkan. Kenyataanya, dilapangan Bahasa dan Sastra Indonesia tidak diberikan secara berimbang. Mungkin hal ini disebabkan karena kompetensi seorang guru yang tidak berimbang pula. Terkesan berat sebelah. Ada guru yang menguasai  sastranya saja, dan ada juga guru yang hanya menguasai tehnik  dan tata bahasa saja dan tidak begitu tertarik pada sastra. 

Penghargaan dari kompetensi guru dengan diberikanya sertifikasi guru adalah kebijakan pemerintah yang terkesan tidak ideal. Mungkin kriteria uji kompetensi sertifikasi guru hanya formalitas saja dan terkesan tidak adil. Biar adil, mengapa sertifikasi tersebut tidak diganti dengan kenaikan gaji serta tunjanganya saja agar merata. Toh kerja seorang guru itu sama-sama berat, karena menyangkut soal moral anak didiknya. Sertifikasi guru, diberikan kepada mereka yang memenuhi syarat administrasi yang ditentukan saja. Sedangkan kemampuan mengajar dibidangnya siapa yang tahu.

Disamping itu, kebijakan untuk memisahkan keduanya tidak pernah terpikir oleh pemerintahan daerah setempat. Tidak ada jalan keluar yang diberikan kepada penyandang S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang ingin mengabdi menjadi buruh ajar khususnya di Kabupaten Kepahiang. Embel embel sastra seolah menjadi penghalang padahal dibutuhkan (read,sistem cat 2014).

FLS2N adalah bukti bahwa sastra memiliki peranan penting dalam membangun bangsa. Setiap tahun, masing masing daerah harus memiliki kandidat yang merupakan bibit sastrawan yang akan dibesarkan. Dalam perjalananya, FLS2N juga tidak benar-benar mencari bibit unggul untuk dijadikan  seorang sastrawan. Tidak ada proses seleksi yang benar-benar seleksi untuk memberikan kesempatan bagi seluruh anak didik. Hanya berbekal kenal, bisa disulap, yang punya bakat alam pun lewat. 

Ketika FLS2N 2015 tingkat kabupaten/kota berlangsung tidak ada peserta yang memenuhi kriteria. Khusus di Kabupaten Kepahiang, pesertanya sangat parah. Mulai dari cipta cerpen, cipta puisi hingga baca puisi. Para peserta terlihat tidak mendapatkan proses pembelajaran sastra dengan benar. Hal tersebut terlihat dari hasil karya yang dihasilkan. Rata rata tehnik penulisan yang masih amburadul, cerpen yang serupa makalah serta perumusan judul yang belum mampu.Unsur-unsur intrinsik cerpen juga kurang tergarap dengan baik, seperti pemilihan tema, setting cerita, plot/alur, penokohan, gaya bahasa, dialog, amanat, sudut pandang pengarang. Namun tema-tema itu terasa terlalu dipaksakan, karena kurang eksplorasi, riset, atau memahami pokok persoalan yang sedang ditulis menjadi cerpen. Artinya, peserta harus lebih banyak membaca, mengadakan riset, atau studi banding dengan cerpen-cerpen yang mengangkat tema serupa. Dewan Juri tidak menilai secara point per point, namun menilai keutuhan cerpen-cerpen peserta. Sebab terkadang ada cerpen memiliki judul dan alenia awal (lead) yang menarik, namun kedodoran di beberapa alenia berikutnya.

Sedangkan cipta puisi, masih miskin dengan diksi. Sepertinya peserta cipta puisi tidak benar-benar memahami  pilihan diksi yang digunakan. Dan tampaknya puisi dianggap sebagai kumpulan kata-kata sulit saja. Ironisnya, dibanding SMP dan SMA peserta dari tingkat SD lebih memahami tipologi puisi.

Fenomena selanjutnya adalah lomba baca puisi tingkat SMP dan SMA. lomba yang diikuti oleh enam peserta saja di masing masing tingkat itu, juga memiliki kesiapan berlomba yang kurang memadai. Menurut dewan juri, siswa sama sekali tidak mengenali puisi yang dibawakan. Dan pada akhirnya siswa terjebak dalam gaya deklamasi semata. Interpretasi yang belum tercapai membuat seluruh penampilan baca puisi kehilangan jiwa.

melihat hal di atas, ada baiknya Dinas Pendidikan dan Olahraga Kabupaten Kepahiang mengadakan Workshop terlebih dahulu mengenai baca dan tulis sastra. Dengan demikian, workshop akan menjadi bekal bagi peserta didik yang benar-benar berminat pada sastra untuk menyongsong FL2SN dengan lebih baik. Untuk itu, pemateri workshop harus benar-benar dipertimbangkan agar workshop dapat mencerahkan dunia sastra dengan mendatangkan sastrawan nasional yang benar-benar mampu dibidangnya.  

0 comments:

Post a Comment